KATA PENGNTAR
Alhamdulillah
dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan kami kesehatan
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas tentang mata kuliah “Prinsip-Prinsip Ekonomi Syari’ah” dengan judul “Nilai Dan Etika Dalam Distribusi”.
Makalah
ini kami buat dengan maksud untuk menjadi pedoman kami dalam pembelajaran
khususnya dan teman-teman pembaca pada umumnya sebagai tambahan ilmu
pengetahuan.
Kritik
dan saran dari teman-teman pembaca yang kami harapkan demi kesempurnaanya
makalah ini, karena dirasakan masih banyak kekurangan dan jauh dari harapan
kita semua.
Dan
kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membutuhkannya.
Singkut, 25 Februari 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
A.
Makna Distribusi dan Urgensinya....................................................... 3
B.
Nilai dan Etika Dalam Distribusi......................................................... 4
1.
Nilai
Kebebasan............................................................................... 4
a.
Keimanannya
kepada Allah dan Mentauhidkan-Nya.............. 4
b.
Keyakinan-Nya
kepada Manusia............................................. 5
2.
Nilai
Keadilan................................................................................... 5
a.
Perbedaan
Pendapatan............................................................. 5
b.
Pemerataan
Kesempatan.......................................................... 7
c.
Memenuhi
Hak Para Pekerja.................................................. 7
d.
Takaful (Kesetiakawanan Sosial Yang
Menyeluruh)............. 7
e.
Keadilan
Tidak Selalu Berarti Persamaan............................. 7
f.
Keadilan
dalam islam adalah fondasi...................................... 9
BAB III PENUTUP....................................................................................... 11
Kesimpulan................................................................................................ 11
DAFTAR PUSTAKA
………………………………………………………. 12
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem ekonomi menunjuk pada satu kesatuan mekanisme dan
lembaga pengambilan keputusan yang mengimplementasikan keputusan tersebut
terhadap produksi, konsumsi dan distribusi pendapatan.[1]
Karena itu, sistem ekonomi merupakan sesuatu yang penting bagi perekonomian.
Sistem ekonomi terbentuk karena berbagai faktor yang kompleks, misalnya
ideologi dan sistem kepercayaan, pandangan hidup, lingkungan geografi, politik,
sosial budaya, dan lain-lain.
Pada saat ini terdapat berbagai macam sistem ekonomi
negara-negara di dunia. Meskipun demikian secara garis besar, sistem ekonomi
dapat dikelompokkan pada dua kutub, yaitu kapitalisme dan sosialisme.
Sistem-sistem yang lain seperti welfare state, state capitalism, market
socialisme, democratic sosialism pada dasarnya bekerja pada bingkai
kapitalisme dan sosialisme. Akan tetapi, sejak runtuhnya Uni Soviet, sistem
sosialisme dianggap telah tumbang bersama runtuhnya Uni Soviet tersebut. Dalam
konteks tulisan ini, maksud ekonomi konvensional adalah sistem ekonomi
kapitalisme yang hingga kini masih menjadi sistem ekonomi kuat di dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ekonomi
Konvensional
1.
Sejarah
Sistem ekonomi konvensional yang
dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi
kapitalis diawali dengan terbitnya buku The Wealth of Nation karangan
Adam Smith pada tahun 1776. Pemikiran Adam Smith memberikan inspirasi dan pengaruh
besar terhadap pemikiran para ekonom sesudahnya dan juga pengambil kebijakan
negara.
Lahirnya sistem ekonomi kapitalis,
sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkembangan pemikiran dan
perekonomian benua Eropa pada masa sebelumnya. Pada suatu masa, di Benua Eropa
pernah ada suatu zaman dimana tidak ada pengakuan terhadap hak milik manusia,
melainkan yang ada hanyalah milik Tuhan yang harus dipersembahkan kepada
pemimpin agama sebagai wakil mutlak dari Tuhan. Pada zaman tersebut yang kemudian
terkenal dengan sistem universalisme. Sistem ini ditegakkan atas dasar
keyakinan kaum agama “semua datang dari Tuhan, milik Tuhan dan harus
dipulangkan kepada Tuhan”.
Kemudian lahir pula golongan baru,
yang mendekatkan dirinya pada kaum agama, yaitu kaum feodal. Mereka ini yang
berkuasa di daerahnya masing-masing, lalu menguasai tanah-tanah dan memaksa
rakyat menjadi hamba sahaya yang harus menggarap tanah itu. Sistem feodal hidup
subur di bawah faham universalisme. Faham ini lebih terkenal dengan feodalisme.
Jika kaum feodal memaksa rakyat bekerja mati-matian, maka kaum agama dengan
nama Tuhan menghilangkan hak dari segala miliknya. Artinya kaum feodal yang
bekerjasama dengan kaum agama, telah mempermainkan seluruh hak milik manusia
untuk kepentingan mereka sendiri.
Gambaran yang dapat diperoleh dari
zaman kaum agama dan feodal ialah manusia hidup seperti hewan, tidak mempunyai
fikiran sendiri, tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri dan semuanya hanyalah
kaum agama yang memilikinya. Inilah suatu kesalahan besar yang pernah diperbuat
oleh kaum agama di benua Eropa. Seluruh masyarakat Eropa berontak dan
mengadakan perlawanan menentang kaum agama dan feodal. Pecahlah revolusi
Perancis yang sudah terkenal itu.
Revolusi Perancis (1789 – 1793)
dipandang sebagai puncak kegelisahan dari rakyat yang tertindas dan dirampas
haknya. Dengan dendam dan kemarahan yang luar biasa mereka menghancurkan
universalisme dan feodalisme yang mengikat mereka. Tetapi, akibatnya lebih
buruk dari itu. Bukan saja mereka memusuhi kaum agama dan feodal, tetapi juga
menjatuhkan nama suci dari Tuhan yang selalu dibuat kedok oleh kedua golongan
di atas.
Di samping itu, berkembangnya sistem
ekonomi kapitalis juga dapat dirunut dari sejak munculnya faham fisiokrat (abad
17) yang mengatakan bahwa pertanian adalah dasar dari produksi negara, sebab
itu, seluruh perhatian harus ditumbuhkan kepada memperbesar hasil pertanian.
Kemudian lahir pula paham merkantilisme (awal abad 18) yang mengatakan bahwa
perdagangan adalah lebih penting dari pertanian, karena itu pemerintah harus
memberikan perhatiannya kepada mencari perdagangan dengan negara-negara
lainnya.
Pada pertengahan abad ke-18,
lahirlah paham baru yang dinamakan liberalisme dari Adam Smith (1723 – 1790) di
Inggris. Menurut dia, bukan soal pertanian atau perdagangan yang harus
dipentingkan, tetapi titik beratnya diletakkan pada pekerjaan dan kepentingan
diri. Jika seseorang dibebaskan untuk berusaha, dia harus dibebaskan pula untuk
mengatur kepentingan dirinya. Sebab itu ajaran laiser aller, laisser passer (merdeka
berbuat dan merdeka bertindak) menjadi pedoman bagi persaingan mereka.
Selanjutnya manusia memasuki kancah individualisme yang ditandai dengan nafsu
untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya yang ditimbulkan oleh persaingan yang
bebas tadi. Dari paham liberalisme, timbullah kaum borjuis. Kaum borjuis ini
akhirnya menimbulkan sistem ekonomi, sistem ekonomi kapitalis.
Berkembangnya paham kapitalis
menimbulkan reaksi yang ditandai dengan munculnya paham komunisme. Paham ini
lahir dari seorang Jerman, bernama Karl Marx pada tahun 1848 yang sangat kecewa
terhadap sistem ekonomi kapitalis yang dianggap telah menyengsarakan rakyat
banyak. Silih berganti nasib yang dilalui paham Marx itu. Tetapi akhirnya
sewaktu Lenin mendirikan pertama kali negara komunis di Rusia pada tahun 1917,
maka marxisme telah menjejakkan kakinya dengan kuat sebagai dasar bagi negara
baru tersebut. Walapun ajaran komunisme ini pernah menguasai hampir separo dari
penduduk dunia, akan tetapi paham ini dianggap telah runtuh bersamaan dengan
runtuhnya Rusia.
2.
Landasan
Filosofi dan Welstanchaung
Landasan filosofi sekaligus
welstanchaung sistem ekonomi kapitalis adalah materialisme dan sekularisme.
Pengertian manusia sebagai homo economicus atau economic man
adalah manusia yang materialis hedonis, sehingga ia selalu dianggap memiliki
serakah atau rakus terhadap materi. Dalam perspektif materialisme hedonisme
murni, segala kegiatan manusia dilatarbelakangi dan diorientasikan kepada
segala sesuatu yang bersifat material. Manusia dianggap merasa bahagia jika
segala kebutuhan materialnya terpenuhi secara melimpah. Pengertian
kesejahteraan yang materialistik seperti ini seringkali menafikan atau paling
tidak meminimalkan keterkaitannya dengan unsur-unsur spiritual ruhaniah.[2]
Dalam sistem ekonomi kapitalis,
materi adalah sangat penting bahkan dianggap sebagai penggerak utama
perekonomian. Dari sinilah sebenarnya, istilah kapitalisme berasal, yaitu paham
yang menjadikan kapital (modal/material) sebagai isme.
Ilmu ekonomi konvensional sangat
memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Rasionality
assumption dalam ekonomi menurut Roger LeRoy Miller adalah individuals
do not intentionally make decisions that would leave them worse off.[3]
Ini berarti bahwa rasionaliti didefinisikan sebagai tindakan manusia dalam
memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan
senantiasa berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want)
yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja
membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka. Bahkan
menurutnya, suatu aktivitas atau sikap yang terkadang nampak tidak rasional
akan tetapi seringkali ia memiliki landasan rasionaliti yang kuat, misalnya
orang yang berpacaran menghabiskan waktu dan uang, dan lain sebagainya.
Rasionaliti merupakan kunci utama
dalam pemikiran ekonomi modern. Ia menjadi asas aksioma bahwa manusia adalah
makhluk rasional.[4]
Konsep rasionaliti muncul karena adanya keinginan-keinginan konsumen
untuk memaksimalkan utiliti dan produsen ingin memaksimalkan keuntungan,
berasaskan pada satu set constrain. Yang dimaksud constrain dalam
ekonomi konvensional adalah terbatasnya sumber-sumber dan pendapatan yang
dimiliki oleh manusia dan alam, akan tetapi keinginan manusia pada dasarnya
tidak terbatas. Dalam ekonomi Islam yang dimaksud dengan constrain
adalah terbatasnya kemampuan manusia baik dari segi fisik maupun pengetahuan
untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu sumber yang tidak terbatas yang telah
disediakan oleh Allah SWT. Berdasarkan pernyataan di atas maka manusia perlu
membuat suatu pilihan yang rasional sehingga pilihan tersebut dapat memberikan
kepuasan atau keuntungan yang maksimal pada manusia.
Menurut ilmu ekonomi konvensional,
sesuai dengan pahamnya tentang rational economics man, tindakan individu
dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self
interest)[5]
yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam ekonomi
konvensional, perilaku rasional dianggap ekuivalen (equivalent) dengan
memaksimalkan utiliti. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam
pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa
mengambil kira hari akhirat.
Adam Smith menyatakan bahwa tindakan
individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa
kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible hand)
yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar.[6]
Pada sisi lain, landasan filosofi sistem ekonomi kapitalis adalah
sekularisme, yaitu memisahkan hal-hal yang bersifat spiritual dan material
(atau agama dan dunia) secara dikotomis. Segala hal yang berkaitan dengan dunia
adalah urusan manusia itu sendiri sedangkan agama hanyalah mengurusi hubungan
antara manusia dengan Tuhannya. Implikasi dari ini adalah menempatkan manusia
sebagai sebagai pusat dari segala hal kehidupan (antrophosentris) yaitu
manusilah yang berhak menentukan kehidupannya sendiri.
3.
Pokok-Pokok
Pikiran
Dalam dunia nyata, kapitalisme tidak
memiliki bentuk yang tunggal. Ia memiliki ragam yang tidak selalu sama di
antara negara-negara yang menerapkannya, dan ia seringkali berubah-ubah dari
waktu ke waktu. Hal ini paling tidak disebabkan oleh dua hal, pertama, ada
banyak ragam pendapat dari para pemikir, kedua, definisi kapitalisme selalu
berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi dan modifikasi ini telah
berlangsung berabad-abad.[7]
Dengan demikian, pengertian kapitalisme sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam
pemikiran Adam Smith mungkin tidak lagi dijumpai secara murni. Karakteristik
umum kapitalisme antara lain:
a. Kapitalisme menganggap ekspansi
kekayaan yang dipercepat dan produksi yang maksimal serta pemenuhan keinginan
menurut preferensi individual sebagai sesuatu yang esensial bagi kesejahteraan
manusia.
b. Kapitalisme menganggap bahwa
kebebasan individu yang tak terhambat dalam mengaktualisasikan kepentingan diri
sendiri dan kepemilikan atau pengelolaan kekayaan pribadi sebagai suatu hal
yang sangat penting bagi inisiatif individu
c. Kapitalisme berasumsi bahwa
inisiatif individu ditambah dengan pembuatan keputusan yang terdesentralisasi
dalam suatu pasar yang kompetitif sebagai syarat utama untuk mewujudkan
efisiensi optimum dalam alokasi sumberdaya ekonomi.
d. Kapitalisme tidak menyukai
pentingnya peranan pemerintah atau penilaian kolektif (oleh masyarakat), baik
dalam efisiensi alokatif maupun pemerataan distributif.
e. Kapitalisme mengklaim bahwa melayani
kepentingan diri sendiri oleh setiap individu secara otomatis akan melayani
kepentingan sosial kolektif.
Adapun
konsep-konsep pemikiran penting dalam sistem ekonomi konvensional[8]
adalah sebagai berikut:
a. Rational economic man
Ilmu ekonomi konvensional sangat
memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Berdasarkan
paham ini, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan
diri sendiri (self interest)[10]
yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam implementasinya,
rasionaliti ini dianggap dapt diterapkan hanya jika individu diberikan
kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga dengan sendirinya di
dalamnya terkandung individualisme dan liberalisme. Adam Smith menyatakan bahwa
tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan
membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible
hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar.[11]
Oleh karena itu, kapitalisme sangat menjunjung tinggi pasar yang bebas dan
menganggap tidak perlu ada campur tangan pemerintah.[12]
b. Positivism
Kapitalisme berusaha mewujudkan
suatu ilmu ekonomi yang bersifat objektif, bebas dari petimbangan moralitas dan
nilai, dan karenanya berlaku universal. Ilmu ekonomi telah dideklarasikan
sebagai kenetralan yang maksimal di antara hasil akhir dan independensi setiap
kedudukan etika atau pertimbangan normatif. Untuk mewujudkan obyektivitas ini,
maka positivism telah menjadi bagian integral dari paradigma ilmu ekonomi.
Positivism menjadi sebuah keyakinan bahwa setiap pernyataan ekonomi yang timbul
harus mempunyai pembenaran dari fakta empiris. Paham ini secara otomatis
mengabaikan peran agama dalam ekonomi, sebab dalam banyak hal, agama
mengajarkan sesuatu yang bersifat normatif.
c. Hukum Say
Terdapat suatu keyakinan bahwa
selalu terdapat keseimbangan (equilibrium) yang bersifat alamiah,
sebagaimana hukum keseimbangan alam dalam tradisi fisika Newtonian. Jean Babtis
Say menyatakan bahwa supply creates its own demand, penawaran
menciptakan permintaannya sendiri. Ini berimplikasi pada asumsi bahwa tidak
akan pernah terjadi ketidakseimbangan dalam ekonomi. Kegiatan produksi dengan
sendirinya akan menciptakan permintaannya sendiri, maka tidak akan terjadi
kelebihan produksi dan pengangguran. Implikasi selanjutnya, tidak perlu ada
intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Intervensi pemerintah dianggap
justru akan mengganggu keseimbangan alamiah. Asumsi inilah yang menjadi piranti
keyakinan akan kehebatan pasar dalam menyelesaikan semua persoalan ekonomi.
Inilah salah satu paradigma ilmu ekonomi konvensional.[13]
B.
Pokok-pokok
Ekonomi Islam
1.
Sejarah
Sesungguhnya telah sepuluh abad
sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang ekonomi, telah
diturunkan oleh Allah SWT di daerah Arab sebuah analisis tentang ekonomi yang
unggul, karena analisis ekonomi tersebut tidak hanya mencerminkan keadaan
bangsa Arab pada waktu itu –sehingga hanya bermanfaat untuk bangsa Arab saat
itu–, tetapi juga untuk seluruh dunia. Struktur ekonomi yang ada dalam firman
Allah dan sudah sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah
dilaksanakan dengan baik oleh umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut
adalah suatu susunan baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi
nasional bangsa Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam.
Berbagai pemikiran dari para sarjana
ataupun filosof zaman dahulu mengenai ekonomi tersebut juga sudah ada.
Diantaranya adalah pemikiran Abu Yusuf (731 - 798 M), Yahya Ibnu Adam
(meninggal 818 M), Al Farabi (870 – 950 M), Ibnu Sina (980 – 1037 M), El-Hariri
(1054 – 1122 M), Imam Al Ghozali (1058 – 1111 M), Tusi (1201 – 1274 M), Ibnu
Taimiyah (1262 – 1328 M), Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M), dan lain-lain.
Sumbangan Abu Yusuf terhadap keuangan umum adalah tekanannya terhadap peranan
negara, pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang bahkan masih berlaku
sampai sekarang ini.
Gagasan Ibnu Taimiyah tentang harga
ekuivalen, pengertiannya terhadap ketidaksempurnaan pasar dan pengendalian
harga, tekanan terhadap peranan negara untuk menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan
pokok rakyat dan gagasannya terhadap hak milik, memberikan sejumlah petunjuk
penting bagi perkembangan ekonomi dunia sekarang ini. Ibnu Khaldun telah
memberikan definisi ekonomi yang lebih luas dengan menyatakan bahwa ilmu
ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang positif maupun normatif. Maksudnya
mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan
bukan kesejahteraan individu saja. Ibnu Khaldun juga menyatakan adanya hubungan
timbal balik antara faktor-faktor ekonomi, politik, sosial, etika, dan
pendidikan. Dia memperkenalkan sejumlah gagasan ekonomi yang mendasar seperti
pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja dalam teori
nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan,
sistem harga dan sebagainya.
Secara keseluruhan para cendekiawan
tersebut pada umumnya dan Ibnu Khaldun pada khususnya dapat dianggap sebagai
pelopor perdagangan fisiokrat dan klasik (misalnya Adam Smith, Ricardo,
Malthus) dan neo klasik (misalnya Keynes).
Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebutan
ekonomi Islam melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Islam’
memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sangat eksklusif, sehingga
menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi
lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran
kapitalis dan sosialis, sehingga ciri khas spesifik yang dimiliki oleh Ekonomi
Islam itu sendiri hilang.
Sebenarnya Ekonomi Islam adalah satu
sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya
ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi
seluruh umat. Sedangkan dengan ciri khasnya, ekonomi Islam dapat menunjukkan
jati dirinya – dengan segala kelebihannya — pada setiap sistem yang
dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas
utama dari model Ekonomi Islam. Chapra menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi
secara umum dapat dikatakan sebagai divine economics. Cerminan watak
“Ketuhanan” ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonominya — sebab pelakunya
pasti manusia — tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani oleh
para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi
termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepadaNya
(kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan (QS 3: 109). Melalui aktivitas
ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam
batas koridor aturan main..”Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi
rezeki orang yang Dia kehendaki” (QS 42: 12; 13: 26). Atas hikmah Ilahiah,
untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia tidak menolak
untuk mendapatkannya (11: 6). Namun Allah tak pernah menjamin kesejahteraan
ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha.
Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka
Ekonomi Islam — meminjam istilah dari Ismail Al Faruqi — mempunyai sumber
“nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai acuan yang mengikat. Dengan mengakses
kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan
ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara
vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat
bagi manusia dan makhluk lainnya.
Ekonomi Islam pernah tidak populer
sama sekali. Kepopuleran ekonomi Islam bisa dikatakan masih belum lama. Oleh
karena itu, sering muncul pertanyaan, apakah ekonomi Islam adalah baru sama
sekali? Jika melihat pada sejarah dan makna yang terkandung dalam ekonomi
Islam, ia bukan sistem yang baru. Argumen untuk hal ini antara lain:
a. Islam sebagai agama samawi yang
paling mutakhir adalah agama yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti
ditegaskan Allah dalam surat Al-Maidah (5):3. Di sisi lain, Allah SWT juga
telah menjamin kelengkapan isi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia
yang beriman dalam menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firmannya QS Al-An’am (6):38,
ما فرطنا في الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون
b. Sejarah mencatat bahwa umat Islam pernah
mencapai zaman keemasan, yang tidak dapat disangkal siapapun. Dalam masa itu,
sangat banyak kontribusi sarjana muslim yang tetap sangat diakui oleh semua
pihak dalam berbagai bidang ilmu sampai saat ini, seperti matematika,
astronomi, kimia, fisika, kedokteran, filsafat dan lain sebagainya. Sejarah
juga membuktikan, bahwa sulit diterima akal sehat sebuah kemajuan umat dengan
begitu banyak kontribusi dalam berbagai lapangan hidup dan bidang keilmuan
tanpa didukung lebih awal dari kemajuan di lapangan ekonomi.
c. Sejarah juga mencatat banyak tokoh
ekonom muslim yang hidup dan berjaya di zamannya masing-masing, seperti Tusi,
Al-Farabi, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyyah, Al-Maqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun
dan lain-lain.[14]
Bahkan yang disebut terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David Jean Boulakia[15]
sebagai berikut: “Ibn Khaldun discovered a great number of fundamental
economic notions a few centuries before their official births. He discovered
the virtues and the necessity of a division of labor before (Adam) Smith and
the principle of labor before Ricardo. He elaborated a theory of population
before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before
Keynes. The economist who rediscovered mechanisms that he had already found are
too many to be named.” “. . . although Ibn Khaldun is the forerunner of many
economist, he is an accident of history and has no consequence on the evolution
of economic thought.”
Ketiga argumen dan indikator di atas
dapat dipakai sebagai pendukung yang amat meyakinkan bahwa sistem ekonomi Islam
bukanlah hal baru sama sekali. Namun patut diakui bahwa sistem yang pernah berjaya
ini pernah tenggelam dalam masa yang cukup lama, dan sempat dilupakan oleh
sementara pihak, karena kuatnya dua sistem yang pernah berebut simpati dunia
yaitu sistem kapitalisme dan sosialisme.
Sistem ekonomi Islam mengalami
perkembangan sejarah baru pada era modern. Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal
sebagai bapak Ekonomi Islam, ada empat tahapan perkembangan dalam wacana
pemikiran ekonomi Islam, yaitu:
a. Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang
tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki
pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba
untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu
haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan
konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu
membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip
syariah dan bukan pada bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah
keyakinan yang begitu teguh haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif. Masa
ini dimulai kira-kira apada pertengahan dekade 1930-an dan mengalami puncak
kemajuannya pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an. Pada masa itu di
Pakistan didirikan bank Islam lokal ayang beroperasi bukan pada bunga.
Sementara itu di Mesir juga didirikan lembaga keuangan yang beroperasi bukan
pada bunga pada awal dasa warsa 1960-an. Lembaga keuangan ini diberi nama Mit
Ghomir Local Saving yang berlokasi di delta sungai Nil, Mesir.
Tahapan
ini memang masih bersifat prematur dan coba-coba sehingga dampaknya masih
sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar bagi
perkembangan selanjutnya.
b. Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa
1960-an. Pada tahapan ini para ekonom Muslim yang pada umumnya dididik dan
dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba
mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan
analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif
perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar
internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan
mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim maupun non-muslim. Konferensi
internasional pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah
pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang
Islam dan Tata Ekonomi Internasional yang baru di London pada tahun 1977.
Setelah itu digelar dua seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal dalam Islam
di Makkah pada tahun 1978 dan di Islamabad pada tahun 1981. Kemudian diikuti
lagi oleh konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi kerja sama ekonomi
yang diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun 1982 yang kemudian diikuti Konferensi
Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad pada tahun 1983.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan seminar ini digelar yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad, kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini, tetapi juga memberikan pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan seminar ini digelar yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad, kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini, tetapi juga memberikan pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian.
Pada
tahapan kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal di seluruh dunia
Islam anatara lain Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan sebagai bapak
ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M. A. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad
An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawar Iqbal, Dr.
Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah ekonom muslim yang
dididik di Barat tetapi memahami sekali bahwa Islam sebagai way of life
yang integral dan komprehensif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika
diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang
berwibawa di mata dunia.
c. Tahapan ketiga ditandai dengan
upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan
non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini
merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material para ekonom,
pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki kepedulian
kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan
bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep yang
lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama
kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah,
Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasa sama antara negara-negara Islam
yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tidak lama kemudian
disusul oleh Dubai Islamic Bank. Setelah itu banyak sekali bank-bank Islam
bermunculan di mayoritas negara-negara muslim termasuk di Indonesia.
d. Tahapan keempat ditandai dengan
pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk
membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama lembaga keuangan
dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.
2.
Pengertian
dan Prinsip Dasar
Para
pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan
tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul
Mannan, ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the
economics problems of people imbued with the values of Islam”.[16]
Menurut Khursid Ahmad, ekonomi Islam adalah a systematic effort to try
to understand the economic problem and man’s behavior in relation to that
problem from an Islamic perspective. Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah
Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic
challenges of their times. This response is naturally inspired by the teachings
of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them”.[17]
Dari
berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah
suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan
akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang
Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).[18]
Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra[19]
adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Tauhid. Tauhid adalah
fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini
didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan
semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan
makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu
penghuni di dalamnya.
b. Prinsip khilafah. Manusia adalah
khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah
maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya.
Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya
adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.
c. Prinsip keadilan. Keadilan adalah
salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1)
pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan
tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan
stabilitas.
3.
Landasan
Filosofi dan Welstanchaung
Banyak
sekali keterangan dari Al-Quran yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara
eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual beli yang baik dan sah menurut Islam,
pinjam meminjam dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam
perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan,
dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya
diperjelas dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama.
Dari
namanya sudah dapat dipastikan bahwa secara ideologi sistem ekonomi Islam
kental dengan nuansa keislaman, dengan kata yang lebih jelas adalah aqidah
islamiyah. Sistem ekonomi Islam memberikan tuntunan pada manusia dalam
perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan keterbatasan alat pemuas
dengan jalan yang baik dan alat pemuas yang tentunya halal, secara zatnya
maupun secara perolehannya.
Tujuan
utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan
lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat[20]
menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح
الخلق باطلاق
Artinya: “Telah diketahui bahwa
syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan
makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan:
اينما كانت المصلحة فثم حكم الله
Artinya: “Di mana ada maslahah, di
sanalah hukum Allah”. [21]
Dua
ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait
antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah
satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama
Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan
yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).[22]
Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja
berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi
konvensional yang sekuler dan materialistik.[23]
Dengan demikian tujuan sistem ekonomi Islam adalah berkait dengan tujuan yang
tidak hanya memenuhi kesejahteraan hidup di dunia saja (materialis) namun juga
kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT sebagai puncak
tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam segala pola perilaku
sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi.
Secara
terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan
ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu,
masyarakat dan negara.
b. Tercukupinya kebutuhan dasar
manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan,
keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan
dasar secara adil.
c. Penggunaan sumber daya secara
optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir.
d. Distribusi harta, kekayaan,
pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata.
e. Menjamin kebebasan individu.
f. Kesamaman hak dan peluang.
g. Kerjasama dan keadilan.[24]
4.
Pokok-pokok
Pikiran
a.
Metodologi
Ekonomi Islam
Para pakar ekonomi Islam (seperti
Masudul Alam Choudoury, M Fahim Khan, Monzer Khaf, M. Abdul Mannan, dan
lain-lain) telah merumuskan metodologi ekonomi Islam secara berbeda, tetapi
dapat ditarik garis persamaan bahwa semunya bermuara pada ajaran Islam.
Metodologi Ekonomi Islam, dapat diringkaskan sebagai berikut[25]:
1) Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan
pada sumber-sumber wahyu, yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap dua
sumber tersebut mestilah mengikuti garis panduan yang telah ditetapkan oleh
para ulama muktabar, bukan secara membabi buta dan ngawur.[26]
2) Metodologi ekonomi Islam lebih
mengutamakan penggunaan metode induktif.
3) Ilmu Usul tetap mengikat bagi
metodologi ilmu ekonomi Islam. Walaupun begitu pemikiran kritis dan evaluatif
terhadap ilmu usul sangat diperlukan karena pada dasarnya ilmu usul adalah
produk pemikrian manusia.
4) Penggunaan metode ilmiah
konvensional atau metodologi lainnya dapat dibenarkan sepanjang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
5) Ekonomi Islam dibangun di atas nilai
dan etika luhur yang berdasarkan Syariat Islam, seperti nilai keadilan,
sederhana, dermawan, suka berkorban dan lain-lain.
6) Kajian ekonomi Islam bersifat normatif
dan positif.
7) Tujuan utama ekonomi Islam adalah
mencapai falah di dunia dan akhirat.
8) Pada dasarnya metodologi yang
bersumber dari metode ilmiah memiliki peluang untuk menghasilkan kesimpulan
yang sama dengan yang bersumber dari ilmu usul. Ilmu usul untuk ayat qauliyah
dan metode ilmiah untuk ayat kauniyah
b.
Ekonomi
Islam Membentuk Islamic Man
Berbeda dengan ekonomi konvensional
yang mengasumsikan manusia sebagai rational economic man, ekonomi Islam
membentuk manusia menjadi islamic man. Faham rational economic man
dalam ekonomi konvensional menuai berbagai kritik. Di antara kritik-kritik
terhadap rasionaliti dalam ekonomi konvensional adalah sebagai berikut:
1) Terlalu demanding, karena
menganggap setiap agen ekonomi pasti memiliki informasi lengkap. Ini tentu
anggapan yang tidak realistik. Di samping itu terlalu terbatas, karena memahami
self interest secara sangat sempit.
2) Tidak menggambarkan tingkah laku
manusia yang sesungguhnya yaitu apa yang diasumsikan oleh ekonomi konvensional
tidak mewakili perilaku manusia yang sebenarnya dan mengabaikan sama sekali
emosi dan perasan. Clive Hamilton mengungkapkan bahwa ilmu ekonomi berkait dan
bersepakat dengan kehidupan manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang
berperasaan selain berakal, oleh karena itu ekonomi modern yang mengabaikan
perasaan (moral/etika) dan spirituality merupakan kesalahan yang sangat
telak. Memahami sesuatu dengan hanya berdasarkan akal semata merupakan pemahaman
yang tidak lengkap.[27]
3) Pilihan perlu konsisten. Individu
diandaikan rasional jika memilih pilihannya yang senantiasa konsisten dan
mengabaikan perbedaan cita rasa individu. Di samping itu, dalam setiap
pilihannya, setiap individu tidak hanya mempertimbangkan apakah pilihannya itu
memenuhi utilitinya, akan tetapi juga mempertimbangkan mestikah memilih pilihan
itu. Misalnya, pertanyaannya bukan hanya, “Dapatkah benda ini dibeli?” Tetapi
juga “Haruskah minuman keras ini dibeli?”. Oleh karena itu Viktor J. Vanberg[28]
menyatakan bahwa karena tidak mungkin mencapai konsisten yang terus menerus
dalam pilihan rasional, beliau menyatakan perlu ada sebuah teori yang disebut
dengan theory of behavioural adaptation.
4) Terlalu materialistik. Teori ilmu
ekonomi konvensional menganggap manusia senantiasa ingin mencapai keuntungan
material yang lebih tinggi sedangkan sebenarnya ada batasan dalam kehendak
manusia. Dalam kenyataannya keinginan manusia tidak hanya dibatasi oleh budget
constrain/level of income, tingkat harga, atau tingkat modal yang
dipunya, tetapi juga oleh hukum, peraturan perundangan, tradisi,
nilai-nilai/ajaran agama, nilai moral, dan tanggung jawab sosial.[29]
C.
Perbedaan Ekonomi Islam Dan Ekonomi
Konvensional Ditinjau Dari Aspek Nilai Dan Etika
Secara
konseptual terdapat perberbedaan mendasar antara ekonomi konvensional dan
ekonomi Islam dalam memandang manusia. Ekonomi konvensional mengasumsikan
manusia sebagai rational economic man, sedangkan ekonomi Islam hendak
membentuk manusia yang berkarakterkan Islamic man (‘Ibadurrahman),
(QS 25:63). Islamic man dianggap perilakunya rasional jika konsisten
dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang
seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules
untuk mengantarkan kesuksesan hidup.
Islamic man dalam mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata
bertujuan memaksimumkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu
halal atau haram, israf atau tidak, tabzir atau tidak, memudaratkan masyarakat
atau tidak dan lain-lain. Ketakwaannya kepada Allah dan kepercayaannya kepada
hari kiamat membuatnya senantiasa taat kepada rules Allah dan Rasul-Nya.
Islamic man tidak materialistik, ia senantiasa memperhatikan anjuran
syariat untuk berbuat kebajikan untuk masyarakat, oleh karena itu ia baik hati,
suka menolong, dan peduli kepada masyarakat sekitar. Ia ikhlas mengorbankan
kesenangannya untuk menyenangkan orang lain. (QS 2: 215; QS 92: 18-19).
Motifnya dalam berbuat kebajikan kepada orang lain, baik dalam bentuk berderma,
bersedekah, menyantuni anak yatim, maupun mengeluarkan zakat harta, dan
sebagainya, tidak dilandasi motif ekonomi sebagaimana dalam doctrine of
social responsibility, tetapi semata-mata berharap keridhaan Allah SWT.
Dalam
ekonomi Islam, tindakan rasional termasuklah kepuasan atau keuntungan ekonomi
dan rohani baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan dalam ekonomi
konvensional cakupan tujuannya terbatas hanya pada kepuasan atau keuntungan
ekonomi saja. Oleh karena itu, dimensi waktu dalam ekonomi Islam adalah
lebih luas dan menjadi perhatian tersendiri pada tingkat agen-agen ekonomi di
dalam Islam. Dalam ekonomi Islam, di dalam menjalankan perekonomian tidak hanya
berasaskan pada logika semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada
nilai-nilai moral dan etika serta tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk
dari Allah SWT.
Manusia
perlu bertindak rasional karena ia mempunyai beberapa kelebihan dibanding
ciptaan Allah yang lainnya. Manusia dianggap bertindak rasional apabila .individu
tersebut mengarahkan perilakunya untuk mencapai tahapan maksimum sesuai dengan
norma-norma Islam.[30]
Individu rasional adalah individu yang berusaha memaksimumkan al-falah dibanding
memaksimumkan kepentingan diri sendiri.
Konsep
asas rasionalisme Islam menurut Monzer Kahf[31]:
1.
Konsep
kesuksesan
Islam
membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan di dalam hidupnya melalui
tindakan-tindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam Islam bukan hanya kesuksesan
materi akan tetapi juga kesuksesan di hari akhirat dengan mendapatkan keridhaan
dari Allah SWT. Kesuksesan dalam kehidupan muslim diukur dengan moral agama
Islam, bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas
seseorang, semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran
dan ketakwaan kepada Allah SWT merupakan kunci dalam moralitas Islam. Kebajikan
dan kebenaran dapat dicapai dengan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi
kehidupan serta menjauhkan diri dari kejahatan. Ketakwaan kepada Allah dicapai
dengan menyandarkan seluruh kehidupan hanya karena (niyat), dan hanya
untuk (tujuan) Allah, dan dengan cara yang telah ditentukan oleh
Allah.[32]
2. Jangka waktu perilaku konsumen
Dalam
pandangan Islam kehidupan dunia hanya sementara dan masih ada kehidupan kekal
di akhirat. Maka dalam mencapai kepuasan perlu ada keseimbangan pada kedua
tempoh waktu tersebut, demi mencapai kesuksesan yang hakiki. Oleh karena itu
sebagian dari keuntungan atau kepuasan di dunia sanggup dikorbankan untuk
kepuasan di hari akhirat. Manakala dalam pandangan konvensional mereka tidak memperhitungkan
hal tersebut karena mereka menganggap kematian sebagai akhir dari segalanya,
sehingga tidak perlu menyisihkan sebagian hartanya dari keuntungan atau
kepuasan untuk masa yang tidak jelas dan tidak logis pada hari akhirat.
3. Konsep kekayaan
Kekayaan
dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu
untuk mencapai kesuksesan di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan
konvensional kekayaan adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap
pencapaian mereka di dunia.
4. Konsep barang
Konsep
barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam
al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu: al-tayyibat (barangan yang
baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq (pemberian
Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram.
Menurut ekonomi Islam, barang bisa dibagi pada tiga kategori yaitu: barang
keperluan primer (daruriyyat) dan barang sekunder (hajiyyah) dan
barang tersier (tahsiniyyat). Barang haram tidak diakui sebagai barang
dalam konsep Islam. Dalam menggunakan barang senantiasa memperhatikan maqasid
syariah (tujuan syariah). Oleh karena itu konsep barang yang tiga macam
tersebut tidak berada dalam satu level akan tetapi sifatnya bertingkat dari daruriyyat,
hajiyyat dan tahsiniyyat. [33]
5. Etika konsumen
Islam
tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai kepuasan
selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya
atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk israf (pembaziran)
dan tabzir (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi dan
lainnya.
Dengan
demikian economic rationality from Islamic view bermakna:
a)
konsisten
dalam pilihan ekonomi
b) Content pilihan tidak mengandungi haram,
israf, tabdzir, mudarat kepada masyarakat (jadi senantiasa taat kepada rules
Allah)
c)
Memperhatikan
faktor eksternal seperti kebaikan hati (altruism) yang sesungguhnya, interaksi
sosial yang mesra. Menurut Siddiqi, perilaku rasional dalam ekonomi Islam tidak
selalu mengindikasikan pemaksimuman.(Rational behaviour in Islamic economics
doesn’t necessarily imply maximization).
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas, jelaslah perbedaan mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi
konvensional. Di antara perbedaan mendasar itu adalah:
A. Rasionaliti dalam ekonomi
konvensional adalah rational economics man yaitu tindakan
individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self
interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi
konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu
adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambilkira hari akhirat. Sedangkan
dalam ekonomi Islam jenis manusia yang hendak dibentuk adalah Islamic man
(‘Ibadurrahman), (QS 25:63). Islamic man dianggap perilakunya
rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk
menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin,
Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup.
Ekonomi Islam menawarkan konsep rasionaliti secara lebih menyeluruh tentang
tingkah laku agen-agen ekonomi yang berlandaskan etika ke arah mencapai al-falah,
bukan kesuksesan di dunia malah yang lebih penting lagi ialah kesuksesan di
akhirat.
B. Tujuan utama ekonomi Islam adalah
mencapai falah di dunia dan akhirat, sedangkan ekonomi konvensional
semata-mata kesejahteraan duniawi.
C. Sumber utama ekonomi Islam adalah
al-Quran dan al-Sunnah atau ajaran Islam. Segala sesuatu yang bertentangan
dengan dua sumber tersebut harus dikalahkan oleh aturan kedua sumber tersebut.
Berbeda dengan ekonomi konvensional yang berdasarkan pada hal-hal yang bersifat
positivistik.
D. Islam lebih menekankan pada konsep need
daripada want dalam menuju maslahah, karena need lebih bisa
diukur daripada want. Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan
mengarahkan want dan need sehingga dapat membawa maslahah
dan bukan madarat untuk kehidupan dunia dan akhirat.
5.
Orientasi
dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional adalah untuk
semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua tindakan ekonominya diarahkan untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimal. Jika tidak demikian justeru dianggap
tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi Islam yang tidak hanya ingin
mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga mengharapkan keuntungan rohani dan
al-falah. Keseimbangan antara konsumen dan produsen dapat diukur melalui
asumsi-asumsi secara keluk. Memang untuk mengukur pahala dan dosa seorang hamba
Allah, tidak dapat diukur dengan uang, akan tetapi hanya merupakan ukuran
secara anggaran unitnya tersendiri. Wallahua’lam bi Ash-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam
Perekonomian Islam, (Jakarta Robbani Press , 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar