Jumat, 15 November 2013

Sejarah Zakat Dalam Islam



KATA PENGNTAR

Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan kami kesehatan sehingga kami bisa menyelesaikan tugas “MAKALAH“ tentang mata kuliah “Fiqih Zakat”, dengan judul “Sejarah Zakat Dalam Islam”.
Makalah ini kami buat dengan maksud untuk menjadi pedoman kami dalam pembelajaran khususnya dan teman-teman pembaca pada umumnya sebagai tambahan ilmu pengetahuan.
Kritik dan saran dari teman-teman pembaca yang kami harapkan demi kesempurnaanya makalah ini, karena dirasakan masih banyak kekurangan dan jauh dari harapan kita semua.
Dan kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.




Singkut, 07 Oktober 2013


Penulis



DAFTAR  ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................    ii
DAFTAR ISI .................................................................................................    iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 2
A.    Sejarah Zakat Pada Masa Rosulullah................................................. 2
1.      Pada Periode Makkah.................................................................... 2
2.      Pada Periode Madinah................................................................... 2
B.     Sjarah Zakat Pada Masa Sahabat....................................................... 5
1.      Masa Khalifah Abu Bakar Ashidiq............................................... 5
2.      Masa Khalifah Umar Bin Khottab................................................ 8
3.      Masa Khalifah Usman Bin Affan.................................................. 10
4.      Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib................................................. 11
C.    Sejarah Zakat Masa Tabiin.................................................................. 12
D.    Sejarah Zakat Di Indonesia.................................................................. 13
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 18



BAB I
PENDAHULUAN
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari'ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Zakat Pada Masa Rosulullah
1.      Pada Periode Makkah
Ayat-ayat Alqur'an yang mengingatkan orang mukmin agar mengeluarkan sebagian harta kekayaannya untuk orang-orang miskin diwahyukan kepada Rasulullah SAW ketika beliau masih tinggal di Makkah. Perintah tersebut pada awalnya masih sekedar sebagai anjuran, sebagaimana wahyu Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 39:
''Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)''.
2.      Pada Periode Madinah
Namun menurut pendapat mayoritas ulama, zakat mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah di Madinah.[1] Di tahun tersebut zakat fitrah diwajibkan pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat mal diwajibkan pada bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula diwajibkan zakat fitrah kemudian zakat mal atau kekayaan.
Firman Allah SWT surat Al-Mu'minun ayat 4: ''Dan orang yang menunaikan zakat''. Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat dalam ayat di atas adalah zakat mal atau kekayaan meskipun ayat itu turun di Makkah. Padahal, zakat itu sendiri diwajibkan di Madinah pada tahun ke-2 Hijriah. Fakta ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat pertama kali diturunkan saat Nabi SAW menetap di Makkah, sedangkan ketentuan nisabnya mulai ditetapkan setelah Beliau hijrah ke Madinah.


Kewajiban yang dikenal sebagai zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Namun, permasalahan zakat tidak bisa dipisahkan dari usaha dan penghasilan masyarakat. Demikian juga pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Dalam buku 125 Masalah Zakat karya Al-Furqon Hasbi disebutkan bahwa awal Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi SAW, para sahabatnya, dan segenap kaum muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah dari Makkah ke Madinah) masih disibukkan dengan cara menjalankan usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di tempat baru tersebut. Selain itu, tidak semua orang mempunyai perekonomian yang cukup kecuali Utsman bin Affan karena semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal di Makkah.[2]
Kalangan anshar (orang-orang Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan para sahabatnya yang hijrah dari Makkah) memang telah menyambut dengan bantuan dan keramah-tamahan yang luar biasa. Meskipun demikian, mereka tidak mau membebani orang lain. Itulah sebabnya mereka bekerja keras demi kehidupan yang baik. Mereka beranggapan pula bahwa tangan di atas lebih utama daripada tangan di bawah.
Keahlian orang-orang muhajirin adalah berdagang. Pada suatu hari, Sa'ad bin Ar-Rabi' menawarkan hartanya kepada Abdurrahman bin Auf, tetapi Abdurrahman menolaknya. Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang. Dalam waktu tidak lama, berkat kecakapannya berdagang, ia menjadi kaya kembali. Bahkan, sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa dagangannya.
Selain Abdurrahman, orang-orang muhajirin lainnya banyak juga yang melakukan hal serupa. Kelihaian orang-orang Makkah dalam berdagang ini membuat orang-orang di luar Makkah berkata, ''Dengan perdagangan itu, ia dapat mengubah pasir sahara menjadi emas.''
Tidak semua orang muhajirin mencari nafkah dengan berdagang. Sebagian dari mereka ada yang menggarap tanah milik orang-orang anshar. Tidak sedikit pula yang mengalami kesulitan dan kesukaran dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka tetap berusaha mencari nafkah sendiri karena tidak ingin menjadi beban orang lain. Misalnya, Abu Hurairah.
Kemudian Rasulullah SAW menyediakan bagi mereka yang kesulitan hidupnya sebuah shuffa (bagian masjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni shuffa). Belanja (gaji) para Ahlush Shuffa ini berasal dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan muhajirin maupun anshar yang berkecukupan.
Setelah keadaan perekonomian kaum Muslimin mulai mapan dan pelaksanaan tugas-tugas agama dijalankan secara berkesinambungan, pelaksanaan zakat sesuai dengan hukumnya pun mulai dijalankan. Di Yatsrib (Madinah) inilah Islam mulai menemukan kekuatannya.
Setelah hijrah ke Madinah, Nabi SAW menerima wahyu berikut ini:
''Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan'' (QS Al-Baqarah: 110).
Berbeda dengan ayat sebelumnya, kewajiban zakat dalam ayat ini diungkapkan sebagai sebuah perintah, dan bukan sekedar anjuran.
Mengenai kewajiban zakat ini ilmuwan Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, ''Zakat ditetapkan di Madinah pada abad kedua hijriyah. Tampaknya, zakat yang ditetapkan di Madinah merupakan zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini, yang dibicarakan di Makkah, merupakan kewajiban perseorangan semata''. 
Sayid Sabiq menerangkan bahwa zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin. Akan tetapi, mulai tahun kedua setelah hijrah, menurut keterangan yang masyhur ditetapkan besar dan jumlah setiap jenis harta serta dijelaskan secara teperinci.
Menjelang tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat.[3] Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati.

B.     Sjarah Zakat Pada Masa Sahabat
1.      Masa Khalifah Abu Bakar Ashidiq
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk kepada cara-cara pengelolaan zakat yang dilakukan Rasulullah SAW. Namun, persoalan baru muncul, ketika ada orang atau kelompok yang enggan membayar zakat, di antaranya Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah dan Sajah Tulaihah.
Masalah ini berakar dari pemahaman sebagian umat Islam bahwa perintah zakat yang tertuang dalam surat At-Taubah ayat 103: “Ambilah sedekah (zakat) dari harta mereka, dari zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka,” bermakna hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena beliaulah yang diperintahkan untuk memungut pajak.
Mereka juga menilai hanya pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan menghapuskan dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka ketika Rasullulah masih hidup, dan ketika rasul telah wafat maka mereka terbebas dari kewajiban berzakat tersebut.
Pandangan tersebut jelas keliru. Menyikapi hal itu, Abu Bakar mengambil kebijakan tegas dengan memerangi mereka. Bagi Abu Bakar mereka dianggap telah murtad. Pada awalnya, kebijakan Abu Bakar ini ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin Khattab berpegang kepada hadis nabi yang menyatakan, “Saya diutus untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La llahaillah”.
Bagi Umar, dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan mengucapkan lafaz syahadat, sudah menjamin bahwa darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh perlindungan.
Akan tetapi Abu Bakat beragumen bahwa teks hadis di atas memberi syarat terjadinya perlindungan tersebut, yaitu, “kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan kekayaan itu.”
Zakat adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga menganalogikan zakat dengan sholat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar. Argumen tersebut akhirnya dapat diterima oleh Umar.
Dan Abu Bakar pun beragumentasi pada Alquran, dimana negara diberikan kekuasaan untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat yang akan dipergunakan kembali sebagai dana pembangunan negara.
Ketegasan sikap Abu Bakar, dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang membuat sejarah yang tidak ada tandingannya. Dia tidak dapat sama sekali menerima pemisahan antara ibadah jasmaniah (salat) dari ibadah kekayaan (zakat) dan tidak dapat pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah diserahkan kepada Rasulullah, walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun anaknya.
Pembangkangan orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi nabi palsu dan sudah dirasakan bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Dia tidak mundur sedikitpun dari tekadnya untuk memerangi mereka, sehingga setiap warga negara yang melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki.
Demikianlah tindakan Abu Bakar sebagai khalifah pertama terhadap orang-orang yang membangkang untuk tidak membayar zakat. Demikian pula bagaimana sikap para sahabat utama, termasuk mereka yang pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa pembangkang-pembangkang itu harus diperangi karena keengganan mereka membayar salah satu ibadah utama dalam Islam.
Dengan demikian, memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat merupakan salah satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara Islam dalam periode Abu Bakar, pertama kali melancarkan perang untuk membela hak-hak fakir miskin dan golongan-golongan ekonomi lemah.
Setelah dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakar pun memulai tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orang-orang yang berhak menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah. Dia sendiri mengambil harta dari Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk persediaan bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah.
Dalam soal pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan terkemudian masuk Islam. Sebab kesemuanya berhak memperoleh zakat apabila kondisi kehidupannya membutuhkan serta masuk dalam kelompok Asnaf penerima zakat yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60.
Abu Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah, tempat yang terletak di daratan tinggi Madinah. Dia tidak mengangkat satu pun pengawal atau pegawai untuk mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak mengangkat penjaga, maka Abu Bakar menjawab. “Jangan takut, tidak ada sedikit pun harta yang tersesisa di dalamnya, semua telah habis dibagikan.”
Ketika Abu Bakar meninggal, Umar bin Khatab memanggil sahabat terpercaya,  di antaranya Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan untuk masuk dalam Baitul Mal. Mereka tidak mendapatkan satu dinar dan satu dirham pun di dalamnya, kecuali satu karung harta yang tersimpan dalam Baitul Mal yang berisi satu dirham.

2.      Masa Khalifah Umar Bin Khottab
Pada masa Umar menjadi Khalifah, situasi jazirah Arab relatif lebih stabil dan tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada Khalifah.
Untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang kian kompleks, Umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan membentuk beberapa lembaga baru yang bersifat akseklusif-operasional, di antara lembaga baru yang Umar bentuk adalah Baitul Mal.
Lembaga yang berfungsi mengelola sumber-sumber keuangan, termasuk zakat. Umar menentukan satu tahun anggaran selama 360 hari, dan menjadi tanggung jawab Umar untuk membersihkan Baitul Mal dalam setiap tahun selama sehari. Umar berkata,”Untuk mendapatkan ampunan dari Allah, aku tidak sedikitpun tinggalkan harta di dalamnya.”
Ada perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar ini, yaitu Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Di sini Umar melakukan ijtihad. Umar saat itu memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat selamanya pada diri seseorang.
Pada situasi tertentu memang dipandang perlu menjinakkan hati seseorang agar menerima Islam dengan memberikan tunjangan, namun bila ia telah diberi cukup kesempatan untuk memahami Islam dan telah memeluknya dengan baik, maka akan lebih baik tunjangan itu dicabut kembali dan diberikan kepada orang lain yang jauh lebih memerlukan.
Selain itu pada masa beliau mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak semua dana zakat yang diterima langsung didistribusikan sampai habis, namun ada pos cadangan devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana alam atau perang. Hal ini merupakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Pada awal pertumbuhan konsep baitulmaal yang diinisiasi oleh Khalifah Umar bin Khattab, pengelolaan dana zakat menjadi otorisasi pusat dengan model sentralisasi. Sehingga pemerintah pusat menjadi agent of change terhadap perubahan kondisi masyarakat, terutama mengangkat harkat dan martabat kaum dhuafa. Wibawa pemerintah dan ketaatan rakyat menjadi harmonis seiring dengan imbangnya pengelolaan harta zakat kepada masyarakat.
Pada masa Umar bin Khattab, sahabat Muaz bin Jabal yang menjabat sebagai Gubernur Yaman ditunjuk pertama kali untuk menjadi ketua amil zakat di Yaman. Konsekuensi dengan model sentralisasi dipahami sebagai satu kewajiban ketaatan karena sistem dan infrastruktur yang sudah established (berkembang).
Pada tahun pertama Muaz bin Jabal mengirimkan 1/3 dari surplus dana zakatnya ke pemerintah pusat, lalu Khalifah Umar mengembalikan kembali untuk pengentasan kemiskinan di daerah Yaman. Sebuah kebijakan yang semestinya dilakukan sebagai pendidikan otorisasi wilayah dalam sistem kebijakan zakat pada saat itu.
Pada tahun kedua Muaz bin Jabal menyerahkan dari surplus zakatnya ke pemerintah pusat. Dan Subhanallah, pada tahun ketiga Muaz bin Jabal menyerahkan seluruh pengumpulan dana zakatnya ke pemerintah pusat. Hal ini dilakukan karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat dan disebut sebagai mustahik, sehingga kebijakan pemerintah pusat mengalihkan distribusi dana tersebut pada daerah lain yang masih miskin.
Paradigma merubah mustahik menjadi muzaki bukanlah mimpi, ketika pengelolaan zakat didukung dengan manajemen profesional dan sistem kebijakan pemerintah yang komprehensif serta bermuara pada kepentingan kesejahteraan mustahik.

3.      Masa Khalifah Usman Bin Affan
Pengelolaan zakat pada periode Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin Khattab.
Pada masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan diceritakan Usman sampai harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan jizyah yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor tertinggi dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk mengelola dana zakat.
Pernah satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk membagi-bagikan harta kepada yang berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun dan memakmurkan masjid Nabawi.
Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan zakat tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya, dikarenakan pada periode ini wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas.
Sementara itu, terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang memadai, yakni kharaj dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus mengikuti tuntunan syariat.



4.      Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Dalam kebijakan zakat dan pengelolaan uang Negara khalifah Ali bin Abi Thalib mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Zakat dianggap sebagai salah satu jenis harta yang diletakkan da Baitul Mal, namun zakat berbeda dengan jenis harta-harta yang lain, dari segi perolehannya serta berapa kadar yang harus dikumpulkan, dan dari segi pembelajaannya.
Saudah berkata “ Saya menemui Amirul Mukminin untuk mengeluhkan sesuatu kepada petugas yang diangkatnya sebagai pengumpul zakat. Ketika saya berdiri di depannya ia berkata kepada saya dengan penuh kelembutan, `Adayang Anda perlukan ? `Saya mengadukan petugas tersebut kepadanya. Setelah mendengar pengaduan saya, ia langsung menangis dan berdoa kepada Allah, `Ya Allah ! Saya tidak menyuruh para petugas itu untuk menindas manusia, dan tidak meminta mereka menyia-nyiakan keadilanMu.`Lalu ia mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menuliskan kata-kata berikut,`Timbag dan ukurlah dengan benar dan jangan memberi kepada rakyat dengan ukuran yang kurang, dan janganlah menyebarkan bencana dimuka bumi. Setelah anda menerima suratini, tahanlah barang-barang yang Anda urusi sebagai cadangan sampai orang lain datang dan mengambil alih tugas iu dari Anda.”
Dalam buku Islamic Economic: Theory and Practice (Lahore, 1970:285), diterangkan bahwa ibadah zakat mengikuti beberapa prinsip yaitu :
a.       Prinsip Keyakinan Keagamaan (Faith). Prinsip ini menyatakan bahwa orang yang membayar zakat yakin bahwa pembayaran tersebut merupakan salah satu manifestasi keyakinan agamanya, sehingga kalau belum mengeluarkan zakat, merasa belum sempurna ibadahnya.
b.      Prinsip Pemerataan (Equity) dan Keadilan. Prinsip ini menggambarkan tujuan dari zakat itu sendiri, membagi lebih adil atas kekayaan yang telah diberikan oleh Allah.
c.       Prinsip Produktivitas (productivity) dan Kematangan. Prinsip ini menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena milik tertentu telah menghasilkan produk tertntu.
d.      Prinsip Nalar (Reason) dan Prinsip Kebebasan (Freedom). Kedua prinsip ini menjelaskan bahwa zakat harus dibayar oleh orang yang bebas, dan sehat jsmani serta rohaninya. Zakat tidak dipungut dari orang yang sedang mengalami gangguan jiwa.
e.       Prinsip Etik (Ethic) dan Kewajaran. Prinsip ini menjelaskan, zakat tidak akan dimnta secara sewenang-wenang, tanpa memperhatikan akibat-akibat yang akan ditimbulkannya. Zakat tidak mungkin dipungut, kalau ternyata membuat orang yang membayarnya menderita.

C.    Sejarah Zakat Pada Masa Tabiin
Hal dan kondisi seperti inipun terjadi pada masa kekhalifahan tabiin-tabiin yang berjuang dijalan Allah SWT. Salah satunya Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah. Pemimpin yang mengoptimalkan potensi zakat, infaq, shadaqoh dan wakaf sebagai kekuatan solusi pengentasan kemiskinan di negerinya. Hal ini terbukti hanya dengan waktu 2 tahun 6 bulan dengan pengelolaan dan sistem yang profesional, komprehensif dan universal membuat negerinya makmur dan sejahtera tanpa ada orang miskin di negerinya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Ubaid, bahwa Gubernur Baghdad Yazid bin Abdurahman mengirim surat tentang melimpahnya dana zakat di Baitulmaal karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat.
Mindset dan izzah prilaku muslim yang perlu menjadi perhatian bersama antara muzaki dan mustahik. Lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan upah kepada orang yang biasa menerima upah. Lalu Yazid menjawab, "Sudah diberikan namun dana zakat masih berlimpah di Baitulmaal."
Umar mengintruksikan kembali untuk memberikan kepada orang yang berhutang dan tidak boros. Yazid berkata, "Kami sudah bayarkan hutang-hutang mereka namun dana zakat masih berlimpah."
Lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menikahkan orang yang lajang dan membayarkan maharnya. Namun hal itu dijawab oleh Yazid dengan jawaban yang sama bahwa dana zakat di Baitulmaal masih berlimpah.
Pada akhirnya, Umar bin Abdul memerintahkan Yazid bin Abdurahman untuk mencari orang yang usaha dan membutuhkan modal, lalu memberikan modal tersebut tanpa harus mengembalikannya. Strategi pengelolaan dan distribusi dana zakat yang semuanya berorientasi pada berlipatgandanya pahala muzaki dan peningkatan kesejahteraan para mustahik.

D.    Sejarah Zakat Di Indonesia
Sejak Islam datang ke tanah air kita, zakat telah menjadi satu sumber dana untuk kepentingan pengembangan agama Islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia menentang penjajahan Barat pendahulu, zakat, terutama bagian sabilillahnya, merupakan sumber dana perjuangan ketika satu persatu tanah air kita dikuasai oleh penjajah Belanda. Pemerintah Kolonial itu mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat. Yang menjadi pendorong pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik rezim kolonial yaitu mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para penghulu atau naib bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah Belanda, tapi tidak diberi gaji atau tunjangan untuk membiayai hidup dan kehidupan mereka beserta keluarganya. Dan untuk melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu. Pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat.
Kendatipun negara Republik Indonesia tidak didasarkan pada ajaran suatu agama, namun falsafah negara kita dan pasal-pasal UUD negara Republik Indonesia memberi kemungkinan kepada pejabat-pejabat negara untuk membantu pelaksanaan pemungutan zakat dan pendayagunaannya. Seperti yang tercantum dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 antara lain adalah bahwa “ Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at islam bagi orang islam, syari’at nasrani bagi orang nasrani, dan syari’at hindu Bali bagi orang hindu. Sekedar menjalankan syari’at ( norma hukum agama ) itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara (Demokrasi Pancasila, 1983 : 34). Karena syari’at yang berasal dari agama yang dianut warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya.
Dalam Negara Republik Indonesiaini, syari’at islam yang merupakan kebutuhan hidup para pemeluk agama islam dan norma abadi yang berasal dari Allah itu dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu:
1.      Syari’at yang mengandung hukum dunia, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum zakat, dan hukum pidana. Hukum-hukum ini memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya agar dapat berjalan dengan sempurna.
2.      Kategori yang kedua yaitu norma abadi yang memuat syari’at yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya seperti shalat, dan puasa. Pelaksanaan syari’at ini tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara, karena ia merupaka kewajiban pribadi pemeluk agama yang bersangkutan kepada Allah.
3.      Kategori ketiga yaitu syari’at yang mengandung tuntunan hidup kerohanian (iman) dan kesusilaan (akhlak) yang seperti syari’at dalam kategori kedua tersebut di atas, tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara yang menjalankannya. Demikian juga syari’at agama nasrani dan hindu.
Menurut Profesor Hazairin, dalam penyusunan ekonomi Indonesia, di samping komponen-komponen yang telah ada dalam sistem adat kita yaitu gotong-royong dan tolong-menolong. Pengertian zakat seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an besar manfaatnya. Kalau dipahami dengan seksama. Kata beliau, mengenai cara pelaksanaannya memang diperlukan perubahan sehingga memenuhi keperluan bank masa kini dan keadaan di Indonesia. Dan jika diadakan bank zakat misalnya, tempat mengumpulkan dana yang tidak adalagi golongan yang menerimanya dari mustahiq yang delapan itu, manfaatnya akan besar sekali. Dari Bank zakat itu akan dapat disalurkan pinjaman-pinjaman jangka panjang yang tidak berbunga untuk rakyat miskin guna membangun lapangan hidup yang produktif. Zakat yang di organisasikan dan diselenggarakan dengan baik, akan sangat berfaedah bukan saja bagi umat islam, tetapi juga bagi mereka yang bukan muslim.
Demikian sejak Indonesia merdeka, di beberapa daerah di tanah air kita, pejabat-pejabat pemerintah yang menjadi penyelenggara negara telah ikut serta membantu pemungutan dan pendayagunaan zakat. Kenyataan ini dapat dihubungkan pula dengan pelaksanaan pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak – anak terlantar di pelihara oleh negara. Kata-kata “ fakir miskin “ yang dipergunakan dalam pasal tersebut jelas menunjukkan pada para mustahiq yaitu mereka yang berhak menerima bagian zakat.
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat ini secara kualitatif, mulai meningkat pada tahun 1962. Pada tahun itu, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 / 1968. Masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul Mal ( Balai Harta Kekayaan ) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya. Setahun sebelumnya, yakni pada tahun 1967, pemeritah telah pula menyiapkan RUU zakat yang akan diajukan kepada DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Menteri Keuangan, pada waktu itu, dalam jawabannya kepada Menteri Agama, menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam undang-undang, cukup dengan peraturan Menteri Agama saja. Karena pendapat itu, Menteri menunda pelaksanaan peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968 tersebut di atas. Kemudian beberapa hari setelah itu, pada peringatan Isra’ dan Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968, Presiden Soeharto manganjurkan untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi seperti Badan Amil Zakat Nasional yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah khusus Ibukota Jakarta.
Dengan di pelopori Pemerintah Daerah DKI Jaya yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, berdirilah di Ibukota ini Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (disingkat BAZIS). Pada tahun 1968 yang terbentuk diberbagai daerah.
Dari lembaga yang telah ada, yang disebut di atas dapat ditarik beberapa pola, pola pertama adalah lembaga Amil yang membatasi dirinya hanya mengumpulkan zakat fitrah saja seperti yang terdapat di Jawa Barat. Pola kedua menitikberatkan kegiatannya pada pengumpulan zakat Mal atau zakat harta di tambah dengan Infak dan Shadaqah. Pola ketiga adalah lembaga yang kegiatannya meliputi semua jenis harta yang wajib di zakati yang dipunyai oleh seorang muslim.










BAB III
KESIMPULAN
Mengenai kewajiban zakat ini ilmuwan Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, ''Zakat ditetapkan di Madinah pada abad kedua hijriyah. Tampaknya, zakat yang ditetapkan di Madinah merupakan zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini, yang dibicarakan di Makkah, merupakan kewajiban perseorangan semata''. 
Sayid Sabiq menerangkan bahwa zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak. Kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum Muslimin. Akan tetapi, mulai tahun kedua setelah hijrah, menurut keterangan yang masyhur ditetapkan besar dan jumlah setiap jenis harta serta dijelaskan secara teperinci.
Menjelang tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat. Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati.
Berdasarkan sejarahnya, dari lembaga yang telah ada, yang disebut di atas dapat ditarik beberapa pola, pola pertama adalah lembaga Amil yang membatasi dirinya hanya mengumpulkan zakat fitrah saja seperti yang terdapat di Jawa Barat. Pola kedua menitikberatkan kegiatannya pada pengumpulan zakat Mal atau zakat harta di tambah dengan Infak dan Shadaqah. Pola ketiga adalah lembaga yang kegiatannya meliputi semua jenis harta yang wajib di zakati yang dipunyai oleh seorang muslim.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1995
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat


[1] Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1995. Hal 89
[2] http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat
[3] http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat