KATA PENGNTAR
Alhamdulillah
dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan kami kesehatan
sehingga kami bisa menyelesaikan tugas “MAKALAH“
tentang mata kuliah “Fiqih Zakat”, dengan
judul “Sejarah Zakat Dalam Islam”.
Makalah
ini kami buat dengan maksud untuk menjadi pedoman kami dalam pembelajaran
khususnya dan teman-teman pembaca pada umumnya sebagai tambahan ilmu
pengetahuan.
Kritik
dan saran dari teman-teman pembaca yang kami harapkan demi kesempurnaanya makalah
ini, karena dirasakan masih banyak kekurangan dan jauh dari harapan kita semua.
Dan
kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membutuhkannya.
Singkut, 07 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL........................................................................................ i
KATA
PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR
ISI ................................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................................. 2
A.
Sejarah
Zakat Pada Masa Rosulullah................................................. 2
1. Pada Periode Makkah.................................................................... 2
2. Pada Periode Madinah................................................................... 2
B. Sjarah Zakat Pada Masa Sahabat....................................................... 5
1. Masa Khalifah Abu Bakar Ashidiq............................................... 5
2. Masa Khalifah Umar Bin Khottab................................................ 8
3. Masa Khalifah Usman Bin Affan.................................................. 10
4. Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib................................................. 11
C. Sejarah Zakat Masa Tabiin.................................................................. 12
D. Sejarah Zakat Di Indonesia.................................................................. 13
BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap muslim diwajibkan memberikan
sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam
Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah
(pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat
Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak
tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan
pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka
yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal
ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat,
khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.
Pada zaman khalifah, zakat
dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu
dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin
membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar.
Syari'ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu
harus dibayarkan.
Zakat merupakan salah satu rukun
Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh
sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti
salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan
Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang
dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Zakat Pada Masa Rosulullah
1.
Pada
Periode Makkah
Ayat-ayat Alqur'an yang mengingatkan
orang mukmin agar mengeluarkan sebagian harta kekayaannya untuk orang-orang
miskin diwahyukan kepada Rasulullah SAW ketika beliau masih tinggal di Makkah.
Perintah tersebut pada awalnya masih sekedar sebagai anjuran, sebagaimana wahyu
Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 39:
''Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)''.
2.
Pada
Periode Madinah
Namun menurut pendapat mayoritas
ulama, zakat mulai disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriah di Madinah.[1]
Di tahun tersebut zakat fitrah diwajibkan pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat
mal diwajibkan pada bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula diwajibkan zakat
fitrah kemudian zakat mal atau kekayaan.
Firman Allah SWT surat Al-Mu'minun
ayat 4: ''Dan orang yang menunaikan
zakat''. Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
zakat dalam ayat di atas adalah zakat mal atau kekayaan meskipun ayat itu turun
di Makkah. Padahal, zakat itu sendiri diwajibkan di Madinah pada tahun ke-2
Hijriah. Fakta ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat pertama kali diturunkan
saat Nabi SAW menetap di Makkah, sedangkan ketentuan nisabnya mulai ditetapkan
setelah Beliau hijrah ke Madinah.
Kewajiban
yang dikenal sebagai zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Namun,
permasalahan zakat tidak bisa dipisahkan dari usaha dan penghasilan masyarakat.
Demikian juga pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Dalam buku
125 Masalah Zakat karya Al-Furqon Hasbi disebutkan bahwa awal Nabi Muhammad SAW
hijrah ke Madinah, zakat belum dijalankan. Pada waktu itu, Nabi SAW, para
sahabatnya, dan segenap kaum muhajirin (orang-orang Islam Quraisy yang hijrah
dari Makkah ke Madinah) masih disibukkan dengan cara menjalankan usaha untuk
menghidupi diri dan keluarganya di tempat baru tersebut. Selain itu, tidak
semua orang mempunyai perekonomian yang cukup kecuali Utsman bin Affan karena
semua harta benda dan kekayaan yang mereka miliki ditinggal di Makkah.[2]
Kalangan
anshar (orang-orang Madinah yang menyambut dan membantu Nabi dan para
sahabatnya yang hijrah dari Makkah) memang telah menyambut dengan bantuan dan
keramah-tamahan yang luar biasa. Meskipun demikian, mereka tidak mau membebani
orang lain. Itulah sebabnya mereka bekerja keras demi kehidupan yang baik.
Mereka beranggapan pula bahwa tangan di atas lebih utama daripada tangan di
bawah.
Keahlian
orang-orang muhajirin adalah berdagang. Pada suatu hari, Sa'ad bin Ar-Rabi'
menawarkan hartanya kepada Abdurrahman bin Auf, tetapi Abdurrahman menolaknya.
Ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Di sanalah ia mulai berdagang. Dalam
waktu tidak lama, berkat kecakapannya berdagang, ia menjadi kaya kembali.
Bahkan, sudah mempunyai kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa
dagangannya.
Selain
Abdurrahman, orang-orang muhajirin lainnya banyak juga yang melakukan hal
serupa. Kelihaian orang-orang Makkah dalam berdagang ini membuat orang-orang di
luar Makkah berkata, ''Dengan perdagangan itu, ia dapat mengubah pasir sahara
menjadi emas.''
Tidak
semua orang muhajirin mencari nafkah dengan berdagang. Sebagian dari mereka ada
yang menggarap tanah milik orang-orang anshar. Tidak sedikit pula yang
mengalami kesulitan dan kesukaran dalam hidupnya. Akan tetapi, mereka tetap
berusaha mencari nafkah sendiri karena tidak ingin menjadi beban orang lain.
Misalnya, Abu Hurairah.
Kemudian
Rasulullah SAW menyediakan bagi mereka yang kesulitan hidupnya sebuah shuffa
(bagian masjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh karena itu,
mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni shuffa). Belanja (gaji) para Ahlush
Shuffa ini berasal dari harta kaum Muslimin, baik dari kalangan muhajirin maupun
anshar yang berkecukupan.
Setelah
keadaan perekonomian kaum Muslimin mulai mapan dan pelaksanaan tugas-tugas
agama dijalankan secara berkesinambungan, pelaksanaan zakat sesuai dengan
hukumnya pun mulai dijalankan. Di Yatsrib (Madinah) inilah Islam mulai
menemukan kekuatannya.
Setelah
hijrah ke Madinah, Nabi SAW menerima wahyu berikut ini:
''Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat. Dan apa-apa
yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan'' (QS
Al-Baqarah: 110).
Berbeda
dengan ayat sebelumnya, kewajiban zakat dalam ayat ini diungkapkan sebagai
sebuah perintah, dan bukan sekedar anjuran.
Mengenai
kewajiban zakat ini ilmuwan Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, ''Zakat
ditetapkan di Madinah pada abad kedua hijriyah. Tampaknya, zakat yang
ditetapkan di Madinah merupakan zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang
khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini, yang dibicarakan di
Makkah, merupakan kewajiban perseorangan semata''.
Sayid
Sabiq menerangkan bahwa zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak.
Kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan
ketentuan kadar zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan
kaum Muslimin. Akan tetapi, mulai tahun kedua setelah hijrah, menurut
keterangan yang masyhur ditetapkan besar dan jumlah setiap jenis harta serta
dijelaskan secara teperinci.
Menjelang
tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan
dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar
zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat.[3]
Dan, sejak saat itu zakat telah berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi
kewajiban sosial keagamaan yang dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh
setiap Muslim yang hartanya telah mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang
wajib dizakati.
B. Sjarah Zakat Pada Masa Sahabat
1. Masa Khalifah Abu Bakar Ashidiq
Setelah
Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan umat Islam diserahkan kepada Khalifah Abu
Bakar Ashidiq. Di masa pemerintahan Abu Bakar, zakat dilakukan dengan merujuk
kepada cara-cara pengelolaan zakat yang dilakukan
Rasulullah SAW. Namun, persoalan baru muncul, ketika ada orang atau kelompok
yang enggan membayar zakat, di antaranya Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah
dan Sajah Tulaihah.
Masalah
ini berakar dari pemahaman sebagian umat Islam bahwa perintah zakat yang
tertuang dalam surat At-Taubah ayat 103: “Ambilah
sedekah (zakat) dari harta mereka, dari zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka,” bermakna hanya Nabi yang berhak memungut zakat, karena
beliaulah yang diperintahkan untuk memungut pajak.
Mereka
juga menilai hanya pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat membersihkan dan
menghapuskan dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya menjadi kewajiban mereka
ketika Rasullulah masih hidup, dan ketika rasul telah wafat maka mereka
terbebas dari kewajiban berzakat tersebut.
Pandangan
tersebut jelas keliru. Menyikapi hal itu, Abu Bakar mengambil kebijakan tegas
dengan memerangi mereka. Bagi Abu Bakar mereka dianggap telah murtad. Pada
awalnya, kebijakan Abu Bakar ini ditentang oleh Umar bin Khattab. Umar bin
Khattab berpegang kepada hadis nabi yang menyatakan, “Saya diutus untuk
memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La llahaillah”.
Bagi
Umar, dengan masuk Islam yang dibuktikan dengan mengucapkan lafaz syahadat,
sudah menjamin bahwa darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh
perlindungan.
Akan
tetapi Abu Bakat beragumen bahwa teks hadis di atas
memberi syarat terjadinya perlindungan tersebut, yaitu, “kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan kekayaan itu.”
Zakat
adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga menganalogikan
zakat dengan sholat, karena pentasyri’an keduanya memang sejajar. Argumen
tersebut akhirnya dapat diterima oleh Umar.
Dan
Abu Bakar pun beragumentasi pada Alquran, dimana negara diberikan kekuasaan
untuk memungut secara paksa zakat dari masyarakat yang akan dipergunakan
kembali sebagai dana pembangunan negara.
Ketegasan
sikap Abu Bakar, dalam hal ini betul-betul merupakan suatu sikap yang membuat
sejarah yang tidak ada tandingannya. Dia tidak dapat
sama sekali menerima pemisahan antara ibadah jasmaniah (salat) dari ibadah
kekayaan (zakat) dan tidak dapat pula menerima pengurangan sesuatu yang pernah
diserahkan kepada Rasulullah, walaupun hanya berupa seekor kambing ataupun
anaknya.
Pembangkangan
orang-orang yang mengangkat dirinya menjadi nabi palsu dan sudah dirasakan
bahayanya di Madinah pun tidak terlepas dari tindakan tegasnya. Dia tidak
mundur sedikitpun dari tekadnya untuk memerangi mereka, sehingga setiap warga
negara yang melakukan pembangkangan tidak mau membayar zakat, pemerintah dapat
melakukan penyitaan terhadap aset yang dimiliki.
Demikianlah
tindakan Abu Bakar sebagai khalifah pertama terhadap orang-orang yang
membangkang untuk tidak membayar zakat. Demikian pula bagaimana sikap para
sahabat utama, termasuk mereka yang pada mulanya tidak setuju, sepakat bahwa
pembangkang-pembangkang itu harus diperangi karena keengganan mereka membayar
salah satu ibadah utama dalam Islam.
Dengan
demikian, memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat merupakan salah
satu masalah konsensus (ijma’) dalam hukum Islam. Negara Islam dalam periode
Abu Bakar, pertama kali melancarkan perang untuk membela hak-hak fakir miskin
dan golongan-golongan ekonomi lemah.
Setelah
dilakukan pembersihan terhadap semua pembangkang zakat, Abu Bakar pun memulai
tugasnya dengan mendistribusikan dan mendayagunakan zakat bagi orang-orang yang
berhak menerimanya, menurut cara yang dilakukan Rasullulah. Dia sendiri
mengambil harta dari Baitul Mal menurut ukuran yang wajar dan diberikan kepada
golongan yang berhak menerimanya, dan selebihnya dibelanjakan untuk persediaan
bagi angkatan bersenjata yang berjuang di jalan Allah.
Dalam
soal pemberian, Abu Bakar tidak membedakan antara terdahulu dan terkemudian
masuk Islam. Sebab kesemuanya berhak memperoleh zakat apabila kondisi kehidupannya
membutuhkan serta masuk dalam kelompok Asnaf penerima zakat yang terdapat dalam
surat At-Taubah ayat 60.
Abu
Bakar mendirikan Baitul Mal di San’ah, tempat yang terletak di daratan tinggi
Madinah. Dia tidak mengangkat satu pun pengawal atau pegawai untuk
mengawasinya. Bila ditanya mengapa tidak mengangkat penjaga, maka Abu Bakar
menjawab. “Jangan takut, tidak ada
sedikit pun harta yang tersesisa di dalamnya, semua telah habis dibagikan.”
Ketika
Abu Bakar meninggal, Umar bin Khatab memanggil sahabat terpercaya, di
antaranya Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan untuk masuk dalam Baitul Mal.
Mereka tidak mendapatkan satu dinar dan satu dirham pun di dalamnya, kecuali
satu karung harta yang tersimpan dalam Baitul Mal yang berisi satu dirham.
2. Masa Khalifah Umar Bin Khottab
Pada
masa Umar menjadi Khalifah, situasi jazirah Arab relatif lebih stabil dan
tentram. Semua kabilah menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik
amil-amil untuk bertugas mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian
mendistribusikan kepada golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu
kemudian diberikan kepada Khalifah.
Untuk
mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang kian kompleks,
Umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan membentuk beberapa
lembaga baru yang bersifat akseklusif-operasional, di antara lembaga baru yang
Umar bentuk adalah Baitul Mal.
Lembaga
yang berfungsi mengelola sumber-sumber keuangan, termasuk zakat. Umar
menentukan satu tahun anggaran selama 360 hari, dan menjadi tanggung jawab Umar
untuk membersihkan Baitul Mal dalam setiap tahun selama sehari. Umar
berkata,”Untuk mendapatkan ampunan dari Allah, aku tidak sedikitpun tinggalkan
harta di dalamnya.”
Ada
perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar ini, yaitu
Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Di sini Umar melakukan
ijtihad. Umar saat itu memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat selamanya
pada diri seseorang.
Pada
situasi tertentu memang dipandang perlu menjinakkan hati seseorang agar
menerima Islam dengan memberikan tunjangan, namun bila ia telah diberi cukup
kesempatan untuk memahami Islam dan telah memeluknya dengan baik, maka akan
lebih baik tunjangan itu dicabut kembali dan diberikan kepada orang lain yang
jauh lebih memerlukan.
Selain
itu pada masa beliau mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa, yaitu tidak
semua dana zakat yang diterima langsung didistribusikan sampai habis, namun ada
pos cadangan devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat seperti bencana
alam atau perang. Hal ini merupakan terobosan-terobosan baru dalam pengelolaan
zakat yang dilakukan oleh Umar bin Khattab.
Pada
awal pertumbuhan konsep baitulmaal yang diinisiasi oleh Khalifah Umar bin
Khattab, pengelolaan dana zakat menjadi otorisasi pusat dengan model
sentralisasi. Sehingga pemerintah pusat menjadi agent of change terhadap perubahan kondisi masyarakat, terutama
mengangkat harkat dan martabat kaum dhuafa. Wibawa pemerintah dan ketaatan
rakyat menjadi harmonis seiring dengan imbangnya pengelolaan harta zakat kepada
masyarakat.
Pada
masa Umar bin Khattab, sahabat Muaz bin Jabal yang menjabat sebagai Gubernur
Yaman ditunjuk pertama kali untuk menjadi ketua amil zakat di Yaman.
Konsekuensi dengan model sentralisasi dipahami sebagai satu kewajiban ketaatan
karena sistem dan infrastruktur yang sudah established
(berkembang).
Pada
tahun pertama Muaz bin Jabal mengirimkan 1/3 dari surplus dana zakatnya ke
pemerintah pusat, lalu Khalifah Umar mengembalikan kembali untuk pengentasan
kemiskinan di daerah Yaman. Sebuah kebijakan yang semestinya dilakukan sebagai
pendidikan otorisasi wilayah dalam sistem kebijakan zakat pada saat itu.
Pada
tahun kedua Muaz bin Jabal menyerahkan dari surplus zakatnya ke pemerintah
pusat. Dan Subhanallah, pada tahun ketiga Muaz bin Jabal menyerahkan seluruh
pengumpulan dana zakatnya ke pemerintah pusat. Hal ini dilakukan karena sudah
tidak ada lagi orang yang mau menerima zakat dan disebut sebagai mustahik,
sehingga kebijakan pemerintah pusat mengalihkan distribusi dana tersebut pada
daerah lain yang masih miskin.
Paradigma
merubah mustahik menjadi muzaki bukanlah mimpi, ketika pengelolaan zakat
didukung dengan manajemen profesional dan sistem
kebijakan pemerintah yang komprehensif serta bermuara pada kepentingan
kesejahteraan mustahik.
3. Masa Khalifah Usman Bin Affan
Pengelolaan
zakat pada periode Usman bin Affan pada dasarnya melanjutkan dasar-dasar
kebijakan yang telah ditetapkan dan dikembangan oleh Umar bin Khattab.
Pada
masa Usman kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan diceritakan Usman sampai
harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaz dan jizyah yang diterimanya.
Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor tertinggi dibandingkan pada
masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk mengelola dana zakat.
Pernah
satu masa, Usman memerintahkan Zaid untuk membagi-bagikan harta kepada yang
berhak namun masih tersisa seribu dirham, lalu Usman menyuruh Zaid untuk
membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun dan memakmurkan masjid Nabawi.
Pada
periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan zakat
tidak sepenuh seperti pada kalifah sebelumnya, dikarenakan pada periode ini
wilayah kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit
terjangkau oleh aparat birokrasi yang terbatas.
Sementara
itu, terdapat sumber pendapatan negara selain zakat yang memadai, yakni kharaj
dan jizyah. Sehingga khalifah lebih fokus dalam pengelolaan pendapatan negara
yang lain seperti kharaj dan jizyah yang besaran persentasenya dapat diubah,
berbeda dengan zakat yang besarannya harus mengikuti tuntunan syariat.
4. Masa Khalifah Ali Bin Abi Thalib
Dalam kebijakan zakat dan
pengelolaan uang Negara khalifah Ali bin Abi Thalib mengikuti prinsip-prinsip
yang ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab. Zakat dianggap sebagai salah
satu jenis harta yang diletakkan da Baitul Mal, namun zakat berbeda dengan
jenis harta-harta yang lain, dari segi perolehannya serta berapa kadar yang
harus dikumpulkan, dan dari segi pembelajaannya.
Saudah berkata “ Saya menemui Amirul
Mukminin untuk mengeluhkan sesuatu kepada petugas yang diangkatnya sebagai
pengumpul zakat. Ketika saya berdiri di depannya ia berkata kepada saya dengan
penuh kelembutan, `Adayang Anda perlukan ? `Saya mengadukan petugas tersebut
kepadanya. Setelah mendengar pengaduan saya, ia langsung menangis dan berdoa
kepada Allah, `Ya Allah ! Saya tidak menyuruh para petugas itu untuk menindas
manusia, dan tidak meminta mereka menyia-nyiakan keadilanMu.`Lalu ia
mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan menuliskan kata-kata
berikut,`Timbag dan ukurlah dengan benar dan jangan memberi kepada rakyat
dengan ukuran yang kurang, dan janganlah menyebarkan bencana dimuka bumi.
Setelah anda menerima suratini, tahanlah barang-barang yang Anda urusi sebagai
cadangan sampai orang lain datang dan mengambil alih tugas iu dari Anda.”
Dalam buku Islamic Economic: Theory
and Practice (Lahore, 1970:285), diterangkan bahwa ibadah zakat mengikuti
beberapa prinsip yaitu :
a.
Prinsip Keyakinan Keagamaan (Faith).
Prinsip ini menyatakan bahwa orang yang membayar zakat yakin bahwa pembayaran
tersebut merupakan salah satu manifestasi keyakinan agamanya, sehingga kalau
belum mengeluarkan zakat, merasa belum sempurna ibadahnya.
b.
Prinsip Pemerataan (Equity) dan
Keadilan. Prinsip ini menggambarkan tujuan dari zakat itu sendiri, membagi
lebih adil atas kekayaan yang telah diberikan oleh Allah.
c.
Prinsip Produktivitas (productivity)
dan Kematangan. Prinsip ini menekankan bahwa zakat memang harus dibayar karena
milik tertentu telah menghasilkan produk tertntu.
d.
Prinsip Nalar (Reason) dan Prinsip
Kebebasan (Freedom). Kedua prinsip ini menjelaskan bahwa zakat harus dibayar
oleh orang yang bebas, dan sehat jsmani serta rohaninya. Zakat tidak dipungut
dari orang yang sedang mengalami gangguan jiwa.
e.
Prinsip Etik (Ethic) dan Kewajaran.
Prinsip ini menjelaskan, zakat tidak akan dimnta secara sewenang-wenang, tanpa
memperhatikan akibat-akibat yang akan ditimbulkannya. Zakat tidak mungkin
dipungut, kalau ternyata membuat orang yang membayarnya menderita.
C. Sejarah Zakat Pada Masa Tabiin
Hal
dan kondisi seperti inipun terjadi pada masa kekhalifahan tabiin-tabiin yang
berjuang dijalan Allah SWT. Salah satunya Umar bin Abdul
Aziz dari Bani Umayyah. Pemimpin yang mengoptimalkan potensi zakat,
infaq, shadaqoh dan wakaf sebagai kekuatan solusi pengentasan kemiskinan di
negerinya. Hal ini terbukti hanya dengan waktu 2 tahun 6 bulan dengan
pengelolaan dan sistem yang profesional, komprehensif dan universal membuat
negerinya makmur dan sejahtera tanpa ada orang miskin di negerinya.
Sebagaimana
diriwayatkan oleh Ubaid, bahwa Gubernur Baghdad Yazid
bin Abdurahman mengirim surat tentang melimpahnya dana zakat di Baitulmaal
karena sudah tidak ada lagi orang yang mau menerima
zakat.
Mindset
dan izzah prilaku muslim yang perlu menjadi perhatian bersama antara muzaki dan
mustahik. Lalu Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memberikan upah kepada
orang yang biasa menerima upah. Lalu Yazid menjawab, "Sudah diberikan namun dana zakat masih berlimpah di
Baitulmaal."
Umar
mengintruksikan kembali untuk memberikan kepada orang yang berhutang dan tidak
boros. Yazid berkata, "Kami sudah bayarkan hutang-hutang mereka namun dana
zakat masih berlimpah."
Lalu
Umar bin Abdul Aziz memerintahkan untuk menikahkan orang yang lajang dan
membayarkan maharnya. Namun hal itu dijawab oleh Yazid dengan jawaban yang sama
bahwa dana zakat di Baitulmaal masih berlimpah.
Pada
akhirnya, Umar bin Abdul memerintahkan Yazid bin Abdurahman untuk mencari orang
yang usaha dan membutuhkan modal, lalu memberikan modal tersebut tanpa harus
mengembalikannya. Strategi pengelolaan dan distribusi dana zakat yang semuanya
berorientasi pada berlipatgandanya pahala muzaki dan peningkatan kesejahteraan
para mustahik.
D. Sejarah Zakat Di Indonesia
Sejak
Islam datang ke tanah air kita, zakat telah menjadi satu sumber dana untuk
kepentingan pengembangan agama Islam. Dalam perjuangan bangsa Indonesia
menentang penjajahan Barat pendahulu, zakat, terutama bagian sabilillahnya, merupakan sumber dana
perjuangan ketika satu persatu tanah air kita dikuasai oleh penjajah Belanda.
Pemerintah Kolonial itu mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893
yang berisi kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat. Yang menjadi
pendorong pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik rezim
kolonial yaitu mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh para
penghulu atau naib bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan pemerintah
Belanda, tapi tidak diberi gaji atau tunjangan untuk membiayai hidup dan
kehidupan mereka beserta keluarganya. Dan untuk melemahkan (dana) kekuatan
rakyat yang bersumber dari zakat itu. Pemerintah Hindia Belanda melarang semua
pegawai pemerintah dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat.
Kendatipun
negara Republik Indonesia tidak didasarkan pada ajaran suatu agama, namun
falsafah negara kita dan pasal-pasal UUD negara Republik Indonesia memberi
kemungkinan kepada pejabat-pejabat negara untuk membantu pelaksanaan pemungutan
zakat dan pendayagunaannya. Seperti yang tercantum dalam pasal 29 ayat 1 UUD
1945 antara lain adalah bahwa “ Negara Republik Indonesia wajib menjalankan
syari’at islam bagi orang islam, syari’at nasrani bagi orang nasrani, dan
syari’at hindu Bali bagi orang hindu. Sekedar menjalankan syari’at ( norma
hukum agama ) itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara (Demokrasi Pancasila,
1983 : 34). Karena syari’at yang berasal dari agama yang dianut warga negara
Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya.
Dalam
Negara Republik Indonesiaini, syari’at islam yang merupakan kebutuhan hidup
para pemeluk agama islam dan norma abadi yang berasal dari Allah itu dapat
dibagi dalam 3 kategori yaitu:
1. Syari’at yang mengandung hukum
dunia, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum zakat, dan hukum
pidana. Hukum-hukum ini memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk
menjalankannya agar dapat berjalan dengan sempurna.
2. Kategori yang kedua yaitu norma
abadi yang memuat syari’at yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Tuhannya seperti shalat, dan puasa. Pelaksanaan syari’at ini tidak memerlukan
bantuan kekuasaan negara, karena ia merupaka kewajiban pribadi pemeluk agama
yang bersangkutan kepada Allah.
3. Kategori ketiga yaitu syari’at yang
mengandung tuntunan hidup kerohanian (iman) dan kesusilaan (akhlak) yang
seperti syari’at dalam kategori kedua tersebut di atas, tidak memerlukan
bantuan kekuasaan negara yang menjalankannya. Demikian juga syari’at agama
nasrani dan hindu.
Menurut Profesor Hazairin, dalam
penyusunan ekonomi Indonesia, di samping komponen-komponen yang telah ada dalam
sistem adat kita yaitu gotong-royong dan tolong-menolong. Pengertian zakat
seperti yang terdapat di dalam Al-Qur’an besar manfaatnya. Kalau dipahami
dengan seksama. Kata beliau, mengenai cara pelaksanaannya memang diperlukan
perubahan sehingga memenuhi keperluan bank masa kini dan keadaan di Indonesia.
Dan jika diadakan bank zakat misalnya, tempat mengumpulkan dana yang tidak
adalagi golongan yang menerimanya dari mustahiq yang delapan itu, manfaatnya akan
besar sekali. Dari Bank zakat itu akan dapat disalurkan pinjaman-pinjaman
jangka panjang yang tidak berbunga untuk rakyat miskin guna membangun lapangan
hidup yang produktif. Zakat yang di organisasikan dan diselenggarakan dengan
baik, akan sangat berfaedah bukan saja bagi umat islam, tetapi juga bagi mereka
yang bukan muslim.
Demikian sejak Indonesia merdeka, di
beberapa daerah di tanah air kita, pejabat-pejabat pemerintah yang menjadi
penyelenggara negara telah ikut serta membantu pemungutan dan pendayagunaan
zakat. Kenyataan ini dapat dihubungkan pula dengan pelaksanaan pasal 34 UUD
1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak – anak terlantar di pelihara
oleh negara. Kata-kata “ fakir miskin “ yang dipergunakan dalam pasal tersebut
jelas menunjukkan pada para mustahiq yaitu mereka yang berhak menerima bagian
zakat.
Perhatian pemerintah terhadap
lembaga zakat ini secara kualitatif, mulai meningkat pada tahun 1962. Pada
tahun itu, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 /
1968. Masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul
Mal ( Balai Harta Kekayaan ) di tingkat pusat, propinsi dan
kabupaten/kotamadya. Setahun sebelumnya, yakni pada tahun 1967, pemeritah telah
pula menyiapkan RUU zakat yang akan diajukan kepada DPR untuk disahkan menjadi
undang-undang. Menteri Keuangan, pada waktu itu, dalam jawabannya kepada
Menteri Agama, menyatakan bahwa peraturan mengenai zakat tidak perlu dituangkan
dalam undang-undang, cukup dengan peraturan Menteri Agama saja. Karena pendapat
itu, Menteri menunda pelaksanaan peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun
1968 tersebut di atas. Kemudian beberapa hari setelah itu, pada peringatan
Isra’ dan Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968, Presiden Soeharto
manganjurkan untuk menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi seperti
Badan Amil Zakat Nasional yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah khusus Ibukota
Jakarta.
Dengan di pelopori Pemerintah Daerah
DKI Jaya yang pada waktu itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin, berdirilah di
Ibukota ini Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (disingkat BAZIS). Pada tahun
1968 yang terbentuk diberbagai daerah.
Dari lembaga yang telah ada, yang
disebut di atas dapat ditarik beberapa pola, pola pertama adalah lembaga Amil yang
membatasi dirinya hanya mengumpulkan zakat fitrah saja seperti yang terdapat di
Jawa Barat. Pola kedua menitikberatkan kegiatannya pada pengumpulan zakat Mal
atau zakat harta di tambah dengan Infak dan Shadaqah. Pola ketiga adalah
lembaga yang kegiatannya meliputi semua jenis harta yang wajib di zakati yang
dipunyai oleh seorang muslim.
BAB III
KESIMPULAN
Mengenai
kewajiban zakat ini ilmuwan Muslim ternama, Ibnu Katsir, mengungkapkan, ''Zakat
ditetapkan di Madinah pada abad kedua hijriyah. Tampaknya, zakat yang
ditetapkan di Madinah merupakan zakat dengan nilai dan jumlah kewajiban yang
khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini, yang dibicarakan di
Makkah, merupakan kewajiban perseorangan semata''.
Sayid
Sabiq menerangkan bahwa zakat pada permulaan Islam diwajibkan secara mutlak.
Kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang diwajibkan untuk dizakati dan
ketentuan kadar zakatnya. Semua itu diserahkan pada kesadaran dan kemurahan
kaum Muslimin. Akan tetapi, mulai tahun kedua setelah hijrah, menurut
keterangan yang masyhur ditetapkan besar dan jumlah setiap jenis harta serta
dijelaskan secara teperinci.
Menjelang
tahun ke-2 Hijriah, Rasulullah SAW telah memberi batasan mengenai aturan-aturan
dasar, bentuk-bentuk harta yang wajib dizakati, siapa yang harus membayar
zakat, dan siapa yang berhak menerima zakat. Dan, sejak saat itu zakat telah
berkembang dari sebuah praktik sukarela menjadi kewajiban sosial keagamaan yang
dilembagakan yang diharapkan dipenuhi oleh setiap Muslim yang hartanya telah
mencapai nisab, jumlah minimum kekayaan yang wajib dizakati.
Berdasarkan sejarahnya, dari lembaga yang telah ada, yang
disebut di atas dapat ditarik beberapa pola, pola pertama adalah lembaga Amil
yang membatasi dirinya hanya mengumpulkan zakat fitrah saja seperti yang
terdapat di Jawa Barat. Pola kedua menitikberatkan kegiatannya pada pengumpulan
zakat Mal atau zakat harta di tambah dengan Infak dan Shadaqah. Pola ketiga
adalah lembaga yang kegiatannya meliputi semua jenis harta yang wajib di zakati
yang dipunyai oleh seorang muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Madzhab, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1995
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat
[1] Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian
Berbagai Madzhab, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1995. Hal 89
[2]
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat
[3] http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat